Generasi Kisah
Generasi ini mungkin berasal dari nama majalah "Kisah". Berbeda dengan penamaan terhadap angkatan-angkatan sebelumnya, penamaan terhadap angkatan/ periode sastra setelah masa revolusi ini tidak ada yang pasti. Ajip Rosidi menamainya dengan “Angkatan Sastra Terbaru”, Jakob Sumardjo menamainya menurut penerbitannya (yakni Kisah lalu Sastra). Secara umum diberi nama “Angkatan Sastra 50-an”, bahkan HB Jassin menamai pengarang-pengarang periode 1953-1966 ini dengan nama Angkatan 66 (meski banyak yang menentangnya).
Majalah Kisah merupakan majalah sastra pertama di Indonesia (sebelumnya berupa majalah umum atau budaya). Majalah ini terbit dari tahun 1953—1957 yang kemudian kematiannya dilanjutkan dengan kelahiran majalah Sastra yang senafas dengan majalah Kisah. Majalah Sastra terbit dalam dua periode yakni 1961—1964 dan 1967—1968.
Sudjati SA dkk menerbitkan majalah khusus yang memuat karya-karya sastra, yakni cerita pendek pada Juli 1953. Majalah ini terbit setiap bulan hingga sampai edisi Maret 1957. Selain Sudjati SA, yang duduk sebagai dewan redaksi antara lain: HB Jassin, M. Balfas, Idrus lalu juga DS Moeljanto. Banyaknya karya-karya sastra yang serba pendek seperti cerpen merupakan salah satu karakteristik karya sastra yang dimuat di majalah meskipun ada sejumlah novel(et) dan drama yang dimuat di majalah.
Ciri karya sastra Generasi Kisah :
b. bersifat semi-otobiografis (seperti pada karya-karya Trisnoyuwono, Nugroho Notosusanto, Djamil Suherman, Yusach Ananda, S.M. Ardan, Ajip Rosidi, Sukanto S.A., Motinggo Busye, Bur Rasuanto, Bastari Asnin → hlm 150—151) berorientasi pada kesusastraan Indonesia sendiri
c. kesusastraan yang deskriptif
Konsep Kesusastraan Pada Periode Generasi Kisah
a. Saya bersajak karena perasaan-perasaan yang mendorong orang bertindak secara alam. Begitu saja dengan sendirinya. Jadi tanpa pertimbangan seorang intelektual (Rendra).
“Angkatan terbaru sastrawan Indonesia” menjumpai nilai-nilai baru dalam kebudayaan daerah yang oleh para sastrawan Pujangga Baru dan Angkatan 45 tidak dipandang sebelah mata. Kebudayaan nasional Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan yang kita jumpai dalam masy Indonesia masa kini. Dan kenyataan-kenyataan itu adalah adanya kebudayaan daerah yang sudah tumbuh subur berakar ... (Ajip Rosidi).
Sajak-sajak adalah suara dari bawah sadar ... apa yang muncul dari bawah sadar mungkin sesuatu yang memerlukan diri, seolah-olah menyebabkan kita telanjang bulat di muka umum; mungkin pula bayangan angan-angan yang pelik yang hanya sekali saja menampakkan diri di depan mata hati kita (Subagio S).
Krisis Sastra
Begitu menginjak tahun-tahun permulaan kemerdekaan, terasalah adanya banyak kegagalan di segala bidang. Kegagalan politik, kegagalan ekonomi, penyelewengan, korupsi dan perubahan-perubahan lain makin terasa dalam kehidupan Indonesia yang mengantarkannya kepada krisis budaya.
Persoalan “krisis sastra” baru mendapat perhatian kaum sastrawan ketika terbit tulisan Sudjatmoko dalam majalah Konfrontasi pada pertengahan 1954. Karena pada periode ini tidak ada roman besar, malah yang ada hanya cerpen yang dangkal.
Ada dan tidaknya krisis sastra adalah akibat cara memandang situasi yang berbeda. Golongan yang menuduh ada krisis sastra kebanyakan golongan “tua”. Hal ini sebenarnya hanya mempertegas bahwa suatu angkatan baru muncul dalam sejarah, biasanya muncul “caci maki” dari golongan tua.
Pada periode ini juga muncul persoalan “krisis akhlak atau krisis moral” karena maraknya bacaan porografis. Lalu diadakan sebuah diskusi oleh OPI (Organisasi Pengarang Indonesia) pada Oktober 1956 yang diketuai J.C.T. Simorangkir, Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pembicara utama, Hamka dan Gayus Siagian sebagai penyanggah.
Diskusi seperti itu diadakan karena dalam kesusastraan mulai muncul novel-novel dan cerpen dalam majalah-majalah hiburan yang secara murahan menggambarkan adegan cabul/pornografis → roman picisan (yang sebenarnya telah berkembang sejak 1930-an.
Majalah Kisah akhirnya berhenti terbit pada Maret 1957 (terbit mulai Juli 1953). Kemudian muncul majalah Tjerita yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto, tetapi tidak berusia lama.
Pada Mei 1961 terbitlah majalah sastra yang bernama Sastra (dengan direksi dari mantan majalah Kisah: Sudjati S.A., H.B. Jassin, dan M. Balfas). Majalah Sastra ini tidak hanya berisi cerpen tetapi juga puisi, esai, kritik, dan cerpen terjemahan, serta cerita bersambung.
Pada 1964 majalah ini terhenti, kemudian diterbitkan kembali pada 1967 (meski pada penerbitan ke-2 tidak lagi berperan karena munculnya majalah Horison dengan Angkatan Horison atau Angkatan 66).
Pada awal 1960-an sejumlah penerbit mulai aktif menerbitkan buku sastra seperti: N.V. Nusantara, P.T. Pembangunan, Tintamas, N.V. Penerbit Djambatan, P.T. Gunung Agung, Firman Buku Mega Bookstore, Aryaguna, Balai Pustaka, Badan Penerbit Kristen.
Periode Kedua Majalah Sastra
Pada periode ini posisi H.B. Jassin sebagai kritikus sastra Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Peran penting Jassin dalam sastra Indonesia:
1) Kebanyakan sastrawan Kisah dan Sastra menulis berdasarkan “bakat alam” sehingga memerlukan seorang pembimbing seperti Jassin yang mengetahui nilai-nilai sastra;
2) Kritik Jassin yang bersifat apresiatif (sebagai penjelas dan perantara antara sastrawan dan pembaca) mudah diterima oleh pembaca ataupun sastrawan;
3) Jassin satu-satunya kritikus yang paling tekun dan rajin menulis dalam mengikuti perkembangan sastra Indonesia;
4) Banyak buku-bukunya dipakai sebagai buku pelajaran sastra di sekolah hingga perguruan tinggi.
Beberapa ciri kritik sastra Jassin:
1) kritik mendidik
2) menggali kekayaan isi
3) menilai sastrawan berdasarkan seluruh karyanya
4) pengetahuan sastra Indonesianya lengkap
5) lebih mementingkan perasaan dan kepekaan daripada berdasarkan teori-teori ilmiah sastra
Para Sastrawan Angkatan Kisah: (1)
1) Nugroho Notosusanto
2) Ajip Rosidi
3) Subagio Sastrowardojo
4) W.S. Rendra
5) Trisnoyuwono
6) Riyono Pratikto
7) A.A. Navis
8) N.H. Dini
9) Toto Sudarto Bachtiar
10) Kirdjomuljo
11) Ramadhan K.H.
Para Sastrawan Angkatan Kisah: (2)
a. S.M. Ardan
b. Sukanto S.A.
c. Djamil Suherman
d. Yusakh Ananda
e. Ali Audah
f. Bokor Hutasuhut
g. Nasjah Djamin
h. A. Alexandre Leo
i. Alwan Tafsiri
j. Soewardi Idris
k. Muhamad Ali
l. S.N. Ratmana
m. Sirullah Kaelani
Para Sastrawan Angkatan Sastra: (1)
1) B. Sularto
2) Iwan Simatupang
3) Bur Rasuanto
4) Bastari Asnin
5) Satyagraha Hoerip
6) Gerson Poyk
7) Motinggo Busye
8) Purnawan Tjondronegoro
9) Jajak MD
10) Titie Said
11) Titis Basino
Para Sastrawan Angkatan Sastra: (2)
1) Ras Siregar
2) Fridolin Ukur
3) Mansur Samin
4) Usamah
5) Indonesia O’galelano
6) Hartoyo Andangdjaja
7) Poppy Donggo Hutagalung
8) M. Saribi AFN
9) Isma Sawitri
10) Piek Adijanto Suprijadi
0 comments: