Bahasa Formal dan Bahasa Sastra
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia(Gorys Keraf, 1989 :1). Fungsi bahasa yang menurut Gorys Keraf (1989 : 3-6) adalah: 1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, 2) sebagai alat komunikasi, 3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, 4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Dalam tataran masyarakat, bahasa berkembang dan menumbuhkan berbagai macam varian. Berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas: dialek regional, dialek sosial, dialek temporal, dan idiolek. Menurut pokok pembicaraan, ragam bahasa dibedakan menjadi: ragam undang-undang, ragam jurnalistik, ragam ilmiah, ragam jabatan, dan ragam sastra. Untuk mengatasi kebingungan dan ketidakpastian karena banyaknya varian bahasa, para bahasawan menggunakan salah satu varian bahasa sebagai bahasa standar atau bahasa baku. (Kridalaksana, 2007:3) Ragam bahasa baku atau standart language dalam bahasa Inggris, sering kita kenal dengan sebutan ragam bahasa formal.
Mengapa ragam standar atau baku? Karena ragam standar bahasa standar atau baku memiliki sifat kemantapan yang dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Selanjutnya, bahasa baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah yang jelas; (Hasan Alwi, dkk; 2010:14). Walaupun dalam kenyataannya bahasa standar tidak dapat dipakai untuk segala keperluan. Penggunaan bahasa standar atau bahasa baku biasannya untuk: komunikasi resmi/formal, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, pembicaraan dengan orang yang dihormati. (Kridalaksana, 2007:3)
Formal berarti sesuai dengan peraturan yang sah; menurut adat kebiasaan yang berlaku; resmi (KBBI). Bahasa formal dipakai ketika dalam situasi formal seperti upacara pelantikan, pidato presiden, rapat, pembacaan UUD, berdialog, ceramah, dan sebagainya dalam konteks resmi dan melibatkan banyak orang. Tujuan dari penggunaan bahasa formal selain sebagai alat komunikasi juga sebagai integrasi dengan situasi formal serta kontrol sosial.
Bahasa formal atau baku atau standar juga sering digunakan dalam ragam tulis. Salah satu karya tulis yang menggunakan ragam baku adalah karya tulis ilmiah. Karya ilmiah ditulis dengan kalimat yang efektif supaya mudah dipahami oleh pembacanya. Untuk menulis sebuah karya ilmiah, penulis juga harus mematuhi struktur sajian karya ilmiah yang sangat ketat. Biasanya terdiri dari awal (pendahuluan), bagian inti (pokok pembahasan), dan bagian penutup. Penulis juga harus menyampaikan gagasannya secara objektif.
Dalam kehidupan masayarakat, sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu: 1) Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya. 2) Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya. 3) Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya. 4) Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi. 5) Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
Bahasa sastra memiliki berbagai karakteristik, diantaranya: 1) unsur emotif lebih dominan, 2) unsur subjektif lebih dominan, 3) lebih menunjuk pada makna konotatif, 4) mengutamakan unsur kebaruan, keaslian, dan kreativitas, 5) terdapat unsur deotomatisasi; lain dari pada yang lazim, 6) fungsu foregrounding, aktualisasi, pengedepanan.
Sesuai fungsi dan cirinya, bahasa memiliki tingkat estetik yang menonjol. Bahasa Sastra adalah bahasa bergaya. Ciri bahasa sastra dapat dilihat dari gaya bahasanya, yaitu penggunaan bahasa secara khusus yang menimbulkan efek tertentu, efek estetis. Dalam penggunaannya, bahasa sastra banyak mengandung unsur emotif pengarang. Hal itu digunakan sebagai sarana penyampaian maksud karya sastra.
Bertolak dari kecenderungan dan karakteristiknya, bahasa formal dan bahasa sastra memiliki peta nilai fungsi dan estetik yang berbeda. Oleh Wellek, sastra dikatakan bersifat tertulis (menggunakan bahasa: tulis, lisan), mahakarya, imaginative atau konotatif, menggunakan bahasa yang khas. Bahasa Sastra dibanding dengan bahasa ilmiah, bahasa sehari-hari, dan bahasa jurnalistik, memiliki kekhususan, yaitu afektif- emosional (menonjolkan unsur perasaan), estetis, ambigu, konotatif, simbolis, dan memiliki daya kejut. Oleh sebab itu bahasa sastra dikatakan sebagai bahasa bergaya.
Karya tulis yang menggunakan bahasa sastra diantaranya: novel, naskah drama, puisi, dan lain sebagainya. Namun, seiring perkembangan zaman. Bahasa sastra juga sering dipakai dalam dialog-dialog film. Film yang banyak menggunakan bahasa sastra sebagai medium penyampaian emotif, contohnya saja adalah film-film karya Makoto Shinkai (The Garden of Words, 5 Centimeter per Second, The Place Promised in Our Early Day, dan lain sebagainya.). Dalam setiap film yang dibuatnya ia selalu memasukan dialok yang berasal dari kutipan sastra sehingga menimbulkan efek dialog yang indah.
Dapatkah bahasa formal dan sastra disatukan? Untuk lebih jelas mengenai letak perbedaan bahasa formal dan bahasa sastra, simaklah sajak Chairil Anwar dibawah ini:
Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri.
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sajak itu ditulis Chairil pada usia 20 tahun. Sajak ini merupakan luapan emosi, semacam kesimpulan yang menerima proses perubahan dan tersingkirkan pada zamannya. Vitalitas yang menonjol dalam puisi di atas terungkap dalam kata “Aku” yang mendambakan sesuatu. Pilihan kata yang dipakai oleh Chairil diatas sangatlah estetis. Bisa dibilang merupakan pilihan kalimat terbaik untuk mengungkapkan unsur emotif pengarang. Tidak mudah mengubah sajak diatas menjadi bahasa formal tanpa mengubah atau mengurangi maksud sang pengarang. Perhatikanlah gubahan bahasa sastra puisi “Semangat” menjadi bahasa formal!
Kalau sampai waktu saya (wafat)
Saya tahu, tidak akan ada satu orangpun yang membujuk
Tidak juga kamu
Tidak perlu bersedih seperti itu
Saya sangat arogan (sifat binatang jalang)
Dari kelompok yang tersingkirkan
Walau kulitku tertembus peluru
Saya tetap marah dan melawan
Luka dan bisa saya bawa berlari
Berlari
Sampai rasa pedih dan peri menghilang.
Dan saya akan lebih tidak peduli
Saya ingin hidup lebih lama lagi-lama sekali
Ketika bahasa formal atau bahasa baku digunakan dalam karya sastra, maka unsur estetik dari karya sastra tersebut akan berkurang atau bahkan hilang. Mengapa demikian? Bahasa sastra mengedepankan kepada penggunaan still atau unsur terbaik dari sistem bahasa yang dapat digunakan. Kalimat dalam bahasa sastra merupakan kalimat yang sangat jarang dipakai dan tidak terpikirkan. Karena unsur kebaruan dan keasingannya itulah, bahasa sastra menjadi menarik untuk dibaca ataupun diucapkan. Berbeda hal nya dengan bahasa formal yang biasa dipakai.
Baik bahasa formal ataupun bahasa sastra memilik fungsinnya masing-masing. Sama halnya ketika kita menerapkan bahasa sastra menjadi bahasa formal, kita juga tidak bisa seenaknya menggunakan bahasa sastra kedalam bahasa formal tanpa konteks yang jelas.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anwar, Chairil. 2010. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Anonim. Fungsi dan Ragam Sastra Bahasa Indonesia.
http://ithasartika91.blogspot.com/2011/02/fungsi-dan-ragam-sastra-indonesia.html diakses 15
Maret 2014.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2010. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Wellek & Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
(Terj. 1989).
0 comments: